Selasa, 06 Oktober 2015

UPTP2K Kebumen dalam Program Penanggulangan Kemiskinan

Latar Belakang
Masalah kemiskinan adalah masalah pelik yang senantiasa menghantui negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. Kemiskinan menggambarkan suatu keadaan belum mampunya seseorang (individu) untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia (human basic needs) bagi kelangsungan hidupnya secara wajar (Zain, 1999). Masalah ini menjadi pelik karena bukan saja jumlahnya yang besar dan sulit berkurang, akan tetapi juga tingkat kesenjangannya yang semakin lebar.
BPS mencatat bahwa jumlah penduduk miskin di Kebumen pada tahun 2013 terbanyak nomor 3 se Jateng. Potret kemiskinan di atas memperlihatkan bahwa paradigma pembangunan Pemerintah yang mengacu pada strategi pertumbuhan disertai dengan pemerataan (growth with equity) nampaknya mengalami kesulitan dan menemui banyak masalah dalam menekan  jumlah penduduk miskin. Apalagi capaian tingkat kemiskinan pada akhir tahun ke lima RPJMD tersebut masih jauh dari target awal, sebesar 19 persen (tahun 2015).  
Berbagai program Penanggulangan kemiskinan yang jumlahnya cukup banyak[1], ternyata belum menjadi sebuah obat yang mujarab bagi pengentasan kemiskinan. Di awal tujuannya mengurangi jumlah penduduk miskin secara massif, berbagai program penanggulangan kemiskinan tersebut justru telah melahirkan berbagai persoalan baru dalam masyarakat, seperti kecemburuan sosial, konflik antar masyarakat, konflik antara masyarakat dan aparat desa, serta berbagai permasalahan teknis lainnya.
Sekelumit uraian di atas tentu saja menyisakan sebuah pertanyaan besar; mengapa persoalan kemiskinan sampai hari ini masih belum tuntas, padahal waktu dan biaya yang dikeluarkan oleh Pemerintah sangatlah besar[2]? Seberapa efektifkah berbagai progam penanggulangan kemiskinan yang selama ini dijalankan oleh Pemerintah?

Penyebab Kemiskinan
Konsep kemiskinan mencakup problema yang multi kompleks dan dapat dilihat dari berbagai segi, misalnya selain ditandai oleh rendahnya tingkat pendapatan dan konsumsi, juga ditengari oleh keterbatasan kebutuhan yang menyangkut fungsi sosial (Zain, 1999). Friedman (1979) dalam (zain, 1999) menyatakan bahwa kemiskinan merupakan kondisi terbatasnya kesempatan kerja untuk mengakumulasikan basis kekuatan sosial atau modal yang produktif seperti: tanah, perumahan dan peralatan lainnya, terbatasnya jaringan sosial seperti dalam memperoleh kesempatan kerja, pengetahuan, keterampilan, kesehatan, hubungan dan informasi, kesemuanya itu diperlukan untuk mewujudkan kehidupan yang layak bagi manusia.
Permasalahan kemiskinan sejatinya adalah sebuah permasalahan yang sangat kompleks dan bersifat multidimensional. Ia tidak bisa hanya dilihat dari satu dimensi saja, akan tetapi juga harus dilihat dari dimensi lain yang melingkupinya. Kemiskinan merupakan kondisi yang lahir dari ketidakberdayaan seseorang atau masyarakat dari aspek ekonomi, sosial, dan politik. Namun demikian, dilihat dari faktor penyebabnya kita dapat mengkategorikan kemiskinan menjadi dua, yaitu kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural.
Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor adat atau budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu sehingga membuatnya tetap melekat dengan kemiskinan.[3] Budaya ini misalnya terkait dengan budaya malas bekerja, mudah menyerah pada nasib, apatis, kurang memiliki etos kerja, berpandangan jika sesuatu yang terjadi adalah takdir, dan lain sebagainya. Menurut Surbakti (Usman, 2006: p136), kemiskinan kultural bukanlah bawaan melainkan akibat dari ketidakemampuan menghadapi kemiskinan yang berkepanjangan.
Dalam terminologi kultural, kemiskinan bukanlah sebab melainkan akibat. Sikap-sikap seperti ini diabadikan melalui proses sosialisasi dari generasi ke generasi. Padahal budaya kemiskinan tersebut mestinya bisa dikurangi atau bahkan secara bertahap bisa dihilangkan dengan mengabaikan faktor-faktor adat dan budaya tertentu yang menghalangi seseorang melakukan perubahan-perubahan ke arah tingkat kehidupan yang lebih baik. Sehingga ketika budaya dan adat yang membelenggu seseorang atau kelompok masyarakat untuk berubah “hilang” maka dengan sendirinya kemiskinan itu juga akan berkurang atau bahkan hilang

Sementara itu, kemiskinan struktural lebih dilihat sebagai sebuah ketidakberdayaan seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu yang disebabkan karena struktur ekonomi dan politik yang tidak berpihak kepada mereka. Akibatnya, mereka berada pada posisi tawar yang sangat lemah dan tidak memiliki akses untuk mengembangkan dan membebaskan diri mereka sendiri dari perangkap kemiskinan. Suyanto (1995:59) yang merangkum tulisan Soetandyo mendefinisikan kemiskinan struktural sebagai kemiskinan yang ditengarai atau didalihkan bersebab dari kondisi struktur, atau tatanan kehidupan yang tak menguntungkan. Dikatakan tak menguntungkan karena tatanan itu tak hanya menerbitkan akan tetapi (lebih lanjut dari itu) juga melanggengkan kemiskinan di dalam masyarakat.
Di dalam kondisi struktur yang demikian itu kemiskinan menggejala bukan oleh sebab-sebab yang alami atau oleh sebab-sebab yang pribadi, melainkan oleh sebab tatanan sosial yang tak adil. Tatanan yang tak adil ini menyebabkan banyak warga masyarakat gagal memperoleh peluang dan/atau akses untuk mengembangkan dirinya serta meningkatkan kualitas hidupnya, sehingga mereka yang malang dan terperangkap ke dalam perlakuan yang tidak adil ini menjadi serba berkekurangan, tak setara dengan tuntutan untuk hidup yang layak, dan bermartabat sebagai manusia.

Penanggulangan Kemiskinan
Pemerintah menyadari bahwa kemiskinan merupakan masalah yang sangat kompleks.[6] Kemiskinan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain: tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi, geografis, gender, dan kondisi lingkungan. Bahkan dalam dokumen perencanaan, secara jelas tersurat bahwa kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Hak-hak dasar yang diakui secara umum meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam, dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.


Guna menjawab persoalan yang serius tentang persoalan kemiskinan, Pemerintah Kabupaten Kebumen melalui Perbup No. 47 tahun 2015  secara khusus membentuk lembaga Unit Pelayanan Terpadu Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (UPTP2K). Unit layanan ini sejatinya adalah merupakan terobosan inovasi dari Sekretariat Harian TKP2KD (Tim Koordinasi Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Daerah), sebuah unit yang khusus menangani dan merumuskan berbagai kebijakan penanggulangan kemiskinan Daerah sebagai amanat Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen No. 20 tahun 2008 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar